Apa tanggapan koalisi Anies-Muhaimin?
Ketua Fraksi PKB di DPR, Cucun Ahmad Syamsurijal, menyebut pertemuan Ketum NasDem Surya Paloh dengan Presiden Jokowi tak ada koordinasi dengan ketum partai koalisi dan Timnas Anies-Muhaimin (AMIN).
Meski dia menilai pertemuan Surya Paloh dengan Jokowi merupakan hak Nasdem sebagai partai. PKB, katanya, akan tetap pada sikapnya yakni mengawal pemilu hingga penghitungan resmi dari KPU tuntas.
Namun demikian, Ketua DPP PKB, Daniel Johan mengingatkan bahwa parpol-parpol anggota Koalisi Perubahan atau koalisi pengusung capres dan cawapres Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar telah membuat kesepakatan tentang langkah yang bakal dilakukan di tengah tahapan pemilu.
Sumber gambar, ANTARA FOTO
Koalisi yang terdiri dari PKB, Nasdem, dan PKS membuat konsensus untuk sama-sama mengawal perolehan suara, baik yang terkait pemilihan presiden (Pilpres) maupun pemilihan anggota legislatif (Pileg) setiap partai.
"Kesepakatan itu yang seharusnya dipegang partai saat ini, termasuk Nasdem, ketika proses pemilu masih pada tahapan rekapitulasi suara," kata Daniel seperti dilansir Kompas.com.
Dia juga mengatakan belum ada undangan Jokowi kepada partainya.
Sama seperti PKB, juru bicara PKS Muhammad Kholid mengatakan pertemuan Surya Paloh dengan Presiden Jokowi merupakan hak Nasdem dan tidak memengaruhi apapun sikap PKS.
Hasil survei, ‘Pemilu akan berlangsung dua putaran‘
Sumber gambar, Getty Images
Baik Cecep Hidayat, Firman Noor dan Pangi setuju bahwa pilpres 2024 kemungkinan besar akan berlangsung dalam dua putaran.
Merujuk pada Pasal 416 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, syarat pilpres satu putaran adalah:
"Pasangan Calon terpilih adalah Pasangan Calon yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah provinsi di Indonesia."
Jika syarat itu tidak berhasil dipenuhi paslon maka akan dilakukan putaran kedua, merujuk pada Pasal 416 ayat 2 UU Pemilu, yang berbunyi:
"Dalam hal tidak ada Pasangan Calon terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), 2 (dua) Pasangan Calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dipilih kembali oleh rakyat secara langsung dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden."
Mereka mengatakan hal itu tidak lepas dari hasil survei yang diungkapkan oleh beberapa lembaga survei pada Januari 2024, di antaranya adalah:
Jokowi dan Megawati pasca-2024
Setelah Jokowi mengakhiri tugasnya pada tahun depan, di mana posisi yang tepat dan pas baginya sebagai mantan presiden ke-7 RI? Jadi apakah seorang Jokowi nanti? Apakah ia tidak menghendaki harus menjadi ”apa dan siapa-siapa” seperti apa yang ia pernah utarakan beberapa waktu lalu?
Saat ditanya wartawan jika ia selesai menjalankan tugasnya pada Oktober 2024, Jokowi menjawab ia akan undur diri dan kembali ke kota asalnya, Solo, sebagai warga negara biasa.
Dari sudut pandang penulis, dengan melihat tantangan geostrategis masa datang dan relasinya dengan banyak tokoh, sejumlah kalangan dan wong cilik di mana pun selama ia menjabat sepuluh tahun menjadi presiden, kepala pemerintahan, dan kepala negara, Jokowi dibutuhkan untuk tetap berada dalam lingkar kekuasaan dan pemerintahan. Bukan sebagai presiden, melainkan paling tidak Jokowi harus menjadi ketua umum sebuah partai politik.
Mengingat pemikiran dan pengalamannya yang tentu masih sangat dan sangat dibutuhkan oleh bangsa dan negara ini, hal itu perlu dipertimbangkan. Namun, mungkinkah Jokowi dapat meneruskan estafet kepemimpinan di sebuah parpol yang menjadi pendukung pemerintah selama ini?
Jawabannya adalah, apakah ada jaminan pasca-Pemilu 2024, Megawati Soekarnoputri masih tetap menjadi ketua umum PDI Perjuangan (PDI-P)? Mengingat usianya tidak muda lagi—pada 23 Januari 2024, usia Megawati akan mencapai 77 tahun—tentu kita harus memikirkan bilamana Adis —begitu penulis kerap menyapa Megawati sejak kecil—tidak lagi menjadi ketua umum PDI-P.
Bilamana seperti itu, apakah tak mungkin Jokowi meneruskan estafet kepemimpinan di PDI-P sebagai ketua umum PDI-P dan Megawati menjadi ketua dewan pembinanya?
Bakal calon presiden PDIP Ganjar Pranowo, Presiden Joko Widodo, dan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri (dari kiri ke kanan) duduk bersama dalam acara pembukaan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) IV PDIP di Jakarta International Expo, Kemayoran, Jakarta, Jumat (29/9/2023). KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO 29-9-2023
Mengapa bukan kader atau pengurus atau tokoh senior di Dewan Pimpinan Pusat PDI-P lainnya yang memimpin PDI-P karena selama ini mereka notabene adalah kader militan dan ”anak-anak ideologis” Bung Karno di PDI-P?
Jawabannya, Jokowi pun anak ideologis Bung Karno karena selama sepuluh tahun menjadi wali kota Solo, dua tahun lebih menjadi gubernur DKI Jakarta, dan nanti sepuluh tahun menjadi presiden RI— yang berarti selama 22 tahun di pemerintahan—Jokowi konsisten melaksanakan ide-ide Bung Karno.
Langkah Jokowi untuk dapat menjadi ketua umum PDI-P ini sangat dimungkinkan dan sudah barang tentu hal ini kalau mau dilakukan harus diputuskan melalui suatu kongres luar biasa PDI-P yang benar-benar demokratis. Dalam hal ini, jika nanti disetujui Megawati akan menjadi ketua dewan pembina, dapat saja kepada Megawati diberikan lagi hak prerogatif layaknya sebelumnya.
Masalahnya adalah, apakah Megawati, Jokowi, dan partai mau?
Baca juga : Jokowi Minta Ganjar Langsung Jalankan Konsep Kedaulatan Pangan Seusai Dilantik
Guntur Soekarno Putra, Sulung Presiden Ke-1 RI, Ketua Dewan Ideologi DPP Persatuan Alumni GMNI
KETEGANGAN hubungan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri dengan Presiden Joko Widodo mulai mengemuka menjelang Pemilihan Umum 2024. Keduanya berbeda sikap politik dalam pemilihan presiden. Megawati mendukung Ganjar Pranowo-Mahfud Md. sebagai calon presiden dan wakil presiden. Namun Jokowi yang merupakan kader PDIP justru mendukung putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai calon wakil presiden yang mendampingi Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto.
Sejak saat itu, kedua tokoh tersebut tidak lagi bertemu secara langsung. Pertemuan terakhir Megawati dengan Jokowi yang tercatat terjadi saat rapat kerja nasional PDI Perjuangan di JIExpo, Jakarta Pusat, pada September 2023. Namun, meski hadir dalam acara yang sama, keduanya dikabarkan tidak akur. Megawati disebut-sebut telah mendengar kabar tentang manuver Jokowi untuk menduetkan Prabowo dengan Gibran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rencana tersebut betul-betul terealisasi setelah Mahkamah Konstitusi mengabulkan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilu yang mengatur syarat batas usia pencalonan presiden. Awalnya pasal ini mengatur batas usia minimal calon presiden dan wakil presiden adalah 40 tahun. Namun MK mengubahnya menjadi "berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah”.
Sejak saat itu, Megawati dan PDIP berseberangan jalan dengan Jokowi. Jokowi tidak pernah terang-terangan menyatakan dukungan untuk Prabowo-Gibran. Namun berbagai kebijakan pemerintahan Jokowi disebut-sebut untuk memenangi Prabowo-Gibran, seperti bantuan sosial dan bantuan bahan pokok yang gencar disalurkan pada masa kampanye pemilihan presiden. Prabowo-Gibran memenangi pemilihan presiden. Mereka mengalahkan dua rivalnya, Ganjar-Mahfud dan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar.
Elite PDIP berkali-kali mengatakan Jokowi ataupun Gibran bukan lagi bagian dari partai berlambang banteng dengan moncong putih ini. Namun mereka tidak pernah secara terbuka mengatakan telah memecat Jokowi dan Gibran sebagai kader PDIP.
Presiden Jokowi, yang biasanya hadir dalam setiap agenda penting partai, tak diundang dalam Rapat Kerja Nasional V PDIP di Ancol, Jakarta, pada 24-26 Mei 2024. Dalam acara itu, Megawati bahkan menyinggung pemerintahan Jokowi dan pemilihan presiden.
Meski tanda-tanda ketegangan di antara keduanya sangat jelas, Megawati mengklaim hubungannya dengan Presiden Jokowi baik-baik saja. "Saya sama Presiden (Jokowi) baik-baik saja. Emangnya kenapa?" katanya dalam acara penyerahan duplikat bendera pusaka kepada semua kepala daerah di Balai Samudera, Jakarta, pada 5 Agustus 2024. Megawati mengatakan kabar renggangnya hubungan dia dengan Jokowi mencuat lantaran isu perpanjangan masa jabatan presiden ataupun masa jabatan presiden tiga periode. Megawati menolak agenda tersebut.
Mungkinkah hubungan Jokowi dan Megawati membaik?
Sumber gambar, ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
Lalu mungkinkan hubungan mereka membaik, terjalin pertemuan antar keduanya, atau bahkan mereka kembali bersatu dalam pilpres 2024?
Cecep Hidayat melihat itu sebagai sesuatu yang sulit untuk terjadi.
“Megawati kerap terbawa emosional dalam pengambilan keputusan. Seperti relasi dia dengan SBY, yang menikung di Pilpres 2004, membuat relasi PDIP dengan Demokrat tidak baik sampai sekarang misalnya,” kata Cecep.
Senada, peneliti senior pusat riset politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor melihat Megawati sebagai tokoh politik yang konsisten atas pilihan politik yang diambilnya.
Selain ‘perang dingin’ dengan SBY yang berlangsung selama belasan tahun, Firman mengatakan, Megawati juga konsisten melawan rezim Orde Baru, sampai terjadi peristiwa penyerangan kantor PDI pada 27 Juli 1996, dikenal dengan Kudatuli.
“Berkaca dari itu,tidak mudah untuk Megawati memaafkan Jokowi karena PDIP adalah yang paling dikecewakan oleh manuver Jokowi. Bagaimanapun Jokowi sudah mengkhianati partainya,” kata Firman.
Apa yang dibicarakan Jokowi dan Surya Paloh?
Pengamat komunikasi politik dari Universitas Multimedia Nusantara, Silvanus Alvin, mengatakan pertemuan antara Presiden Jokowi dengan Ketua Umum Nasdem Surya Paloh menjadi "magnet besar" bagi publik.
Sebab dalam Pilpres 2024, keduanya berada di kubu yang berseberangan. Surya Paloh menjadi pengusung pasangan Anies-Muhaimin yang menyuarakan ide perubahan. Adapun Presiden Jokowi mendukung putranya Gibran Rakabuming Raka yang bersanding dengan Prabowo Subianto.
Menurut Alvin, pertemuan yang dibarengi makan malam tersebut membicarakan sejumlah isu.
Mulai dari keinginan untuk mengembalikan "rasa konsolidasi" yang dulu pernah ada - mengingat pada Pemilu 2014 dan 2019 partai Nasdem menjadi penyokong Jokowi -hingga upaya mengajak Nasdem "kembali menjadi bagian pemerintahan".
"Karena Nasdem ini dari Pemilu 2014, 2019 di dalam pemerintahan, dia punya rekam jejak bersama Presiden Jokowi ketika menjadi capres untuk pertama kalinya," ujar Silvanus Alvin kepada BBC News Indonesia.
Sumber gambar, ANTARA FOTO
Pengamat politik dari Centre for strategic and international Studies (CSIS), Nicky Fahrizal, juga sependapat.
Ia menduga, pembicaraan keduanya sudah mengarah pada penjajakan koalisi dengan kubu Prabowo-Gibran. Apalagi Presiden Jokowi menyebut dirinya sebagai jembatan untuk urusan partai-partai.
Pasalnya gaya pemerintahan Prabowo tak akan jauh berbeda dengan Jokowi yang "sebisa mungkin merangkul semua partai agar tidak tercipta oposisi yang efektif".
"Dan bisa juga strategi bersama. Prabowo akan melakukan kunjungan ke Pak Susilo Bambang Yudhoyono yang punya hubungan pasang surut dengan Jokowi."
Berbeda dengan Nicky, pakar politik dari Universitas Muhammadiyah Kupang, Ahmad Atang, berkata penjajakan untuk berkoalisi kembali terlalu dini disampaikan Jokowi kepada Surya Paloh.
Karena bagaimanapun penghitungan suara oleh KPU masih berjalan meskipun berdasarkan hitung cepat sejumlah lembaga survei menempatkan Prabowo-Gibran unggul telak.
Ia menduga arah pembicaraan itu bagian dari "upaya menjinakkan" kubu Surya Paloh yang selama ini kencang menyuarakan adanya dugaan kecurangan.
"Penjinakan kepada Surya Paloh bahwa sekarang kami sudah menang, tidak perlu lagi keras-keras dan terima kekalahan," ujar Ahmad Atang.
"Atau pertemuan itu sebagai bagian dari upaya melakukan cooling down dinamika politik yang sedang tinggi terutama di kubu Anies-Muhaimin yang sangat menentang hasil quick count."
Hingga saat ini belum ada pernyataan resmi dari Surya Paloh.
Namun Ketua DPP Nasdem, Willy Aditya, menuturkan pertemuan itu hanya membahas dinamika politik yang berkembang saat ini.
Ia juga berkata terlalu dini apabila pertemuan tersebut diartikan bahwa Nasdem akan bersatu dengan kubu Jokowi lagi.
"Ah terlalu dini, Pak Surya orang yang tegas dengan sikap-sikap beliau. Jadi kita saling menghormati," ucapnya di Nasdem Tower.
Sumber gambar, Getty Images
Sebelumnya Presiden Jokowi mengatakan pertemuannya dengan Ketua Umum Nasdem Surya Paloh di Istana Merdeka, pada Minggu (18/02) malam, untuk menjadi "jembatan" atau sebutnya menjembatani sesuatu.
Hal itu disampaikannya usai meresmikan RS Pusat Pertahanan Negara Panglima Besar Soedirman dan 20 RS TNI di Jakarta Selatan.
Presiden melanjutkan adapun soal urusan politik, ia serahkan kepada partai-partai. Dia berkata hanya ingin menjadi penghubung komunikasi terhadap semua hal.
"Saya itu sebetulnya hanya jadi jembatan. Yang penting nanti partai-partai [yang mengurus]. Saya ingin menjadi jembatan untuk semuanya."
Ia kemudian berkata, pertemuan tersebut akan sangat bermanfaat bagi perpolitikan di Indonesia.
Dia pun tak mau ambil pusing terkait pihak mana yang meminta pertemuan itu terlebih dahulu - apakah dari pihak Istana maupun Nasdem.
"Saya kira dua-duanya enggak perlu lah siapa yang undang. Yang paling penting memang ada pertemuan itu dan itu akan sangat bermanfaat bagi perpolitikan negara kita."
Rentetan 'putusnya kemesraan' Jokowi dan Megawati
Sumber gambar, Getty Images
Di balik benar atau tidaknya ide pertemuan tersebut, pengamat politik dari Universitas Indonesia Cecep Hidayat menyebut komunikasi politik antara Jokowi dan Megawati kini terlihat “tidak baik-baik saja”.
Cecep melihat, keretakan itu mulai tercium sejak adanya sinyal-sinyal Jokowi “mendorong Ganjar” menjadi capres pada tahun 2022, seperti menyatakan ciri pemimpin itu berambut putih. Padahal saat itu, PDI Perjuangan dan Megawati belum memutuskan capres yang akan diusung.
Kemudian, muncul wacana di publik tentang masa jabatan presiden tiga periode, perpanjangan masa jabatan presiden hingga penundaan pemilu. Megawati dengan tegas menolak itu.
Hubungan antar keduanya terlihat semakin memanas saat Indonesia batal menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20.
Kemudian, kata Cecep, dari pernyataan yang menyebut Jokowi sebagai “petugas partai” hingga putusan Mahkamah Konstitusi yang “melanggengkan” Gibran menjadi cawapres, semakin menjauhkan hubungan antara Jokowi dan Megawati.
Puncaknya, ujar Cecep, kemesraan keduanya menjadi sukar disembuhkan saat Gibran dideklarasikan menjadi pendamping Prabowo dalam Pilpres 2024.
“Beberapa isu ini berkelindan, kemudian komunikasi menjadi tidak baik. Deklarasi Prabowo-Gibran membuat komunikasi akhirnya benar-benar terputus. Rentetan ‘dosa-dosa politik Jokowi ke PDIP’ saya kira sukar disembuhkan,” ujar Cecep.
Usai deklarasi itu, kata Cecep, PDI Perjuang tidak lagi mengikutsertakan Jokowi dalam kegiatan partai.
Hal itu diperlihatkan saat Jokowi tidak hadir di acara hari ulang tahun PDIP ke-51 pada Rabu (10/01).
Putaran kedua, mungkinkan PDI Perjuangan merapat ke Prabowo?
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Jika diasumsikan bahwa paslon Anies-Cak Imin dan Prabowo-Gibran lolos ke putaran kedua, sementara Ganjar-Mahfud kalah, Cecep melihat kemungkinan PDI Perjuangan memberikan dukungannya ke Prabowo-Gibran dalam putaran kedua sangat kecil.
”Hanya satu yang membuka pintu itu, jika PDIP realistis atau pragmatis, mengesampingkan ‘dosa dan pengkhianatan’ Jokowi demi kekuasaan. Tapi melihat kondisi emosional yang terbentuk itu amat sangat sukar,” kata Cecep, ditambah lagi adanya Partai Demokrat yang mendukung Prabowo.
Pangi Syarwi dari Voxpol Center lantas melihat kemungkinan besar yang muncul adalah dukungan PDI Perjuangan akan mengalir ke Anies-Cak Imin.
”Karena mereka memiliki musuh bersama, nasib sama, menghadapi kesulitan kampanye yang sama, dan harus bersatu untuk menjadi lawan tanding yang sebanding,” kata Pangi.
Lalu bagaimana jika yang lolos ke putaran kedua adalah Ganjar-Mahfud dan Prabowo-Gibran? Cecep melihat kemungkinan partai pendukung dari paslon nomor satu akan pecah.
”Nomor satu itu partai pendukungnya saya lihat tidak solid. Misal secara elit, Surya Paloh dari Nasdem cenderung ke nomor dua."
"Sedangkan PKS karena ada Partai Gelora kemungkinan akan ke nomor tiga atau tidak mendukung. Lalu dukungan PKB mungkin akan ke nomor tiga,” kata Cecep.
Hubungan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri masih menjadi tanya besar publik Tanah Air.
Sudah menjadi rahasia umum, hubungan baik antara Jokowi dan Megawati yang terjalin harmonis selama lebih dari satu dekade belakangan mulai berjarak sejak Pilpres 2024. Romantisme Jokowi dan PDI-Perjuangan juga ikut terkoyak karena perbedaan pandangan politik di hajatan Pilpres 2024.
Baca Juga: Jokowi Tidak Ajak Semua Menteri Upacara HUT RI ke-79 di IKN
Sebagaimana diketahui bersama, di Pilpres 2024, Jokowi memilih jalannya sendiri, ia keluar dari bayang-bayang PDI Perjuangan, dia tak lagi bersama partai moncong putih yang sudah mengasuhnya sejak menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Eks Wali Kota Solo itu memilih berada di Kubu Prabowo Subianto dan membiarkan putranya Gibran Rakabuming Raka melenggang bareng Prabowo di Pilpres 2024 yang hasilnya sudah sama-sama kita ketahui.
Mereka keluar sebagai pemenang dalam hajatan akbar tersebut dan mampu melibas Ganjar Pranowo-Mahfud MD yang diusung PDI Perjuangan, momen tersebut sekaligus menjadi puncak keretakan hubungan Jokowi-Megawati.
Pasca Pilpres 2024, Jokowi tampil biasa saja seolah tak ada apa-apa antaranya dirinya dengan PDI-Perjuangan meski banyak kalangan menganggapnya sebagai pengkhianat.
Jokowi bahkan mengundang Megawati sebagai salah satu tamu kehormatan pada upacara HUT RI 2024 yang digelar di Ibu Kota Nusantara (IKN) pada 17 Agustus mendatang. Soal undangan ini belum ada respons dari Megawati.
Baca Juga: Klaim Anies Dibantah Ahok
Di sisi lain, PDI Perjuangan justru menunjukan sikap sebaliknya, Banteng yang terluka memang jauh lebih ganas, Jokowi dibom bardir dari segala arah dengan berbagai kritikan pedas.
PDI Perjuangan yang selama ini kerap pasang badan untuk Jokowi kini tampil lebih garang, mereka menempatkan diri sebagai oposisi yang sangat kritis terhadap pemerintahan Jokowi. Berbagai kebijakan dipreteli satu-satu, kritik pedas yang dialamatkan buat Jokowi senantiasa dilayangkan setiap waktu.
Puncaknya Jokowi tak diundang pada gelaran Rakernas PDI Perjuangan yang dihelat pada Juni 2024 lalu. Perlu dicatat, status Jokowi dan keluarganya sebagai kader PDI Perjuangan sampai saat ini tidak jelas, tak ada yang mengetahui secara pasti, mereka masih menjadi bagian dari PDI Perjuangan atau justru telah didepak.
Hingga di penghujung masa jabatan Jokowi, hubungannya dengan Megawati dan PDI Perjuangan belum direkonsiliasi.
Banyak pihak berupaya mendamaikan ke dua belah pihak, salah satunya lewat usulan pembentukan president club di era pemerintahan Prabowo-Gibran.
Di mana tim itu di isi oleh presiden terdahulu yakni Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jokowi. Pembentukan tim sekaligus sebagai jalan untuk mendamaikan Megawati dan SBY yang juga kurang akur selama ini.
Tim ini nantinya bertugas memberi nasihat kepada presiden dan wakil presiden, namun sayang, wacana itu tenggelam seiring berkembangnya berbagai kondisi politik Tanah Air belakangan.
Bertemu Jokowi, Surya Paloh disebut sedang penjajakan koalisi Prabowo-Gibran
Sumber gambar, Getty Images
Pertemuan Presiden Jokowi dengan Surya Paloh di Istana Negara pada Minggu (18/02) malam memicu banyak spekulasi. Mulai dari dugaan bahwa Surya Paloh dan Partai NasDem diajak masuk koalisi pemerintahan Prabowo-Gibran hingga "penjinakan" agar Surya Paloh menerima kekalahan dalam kontestasi Pilpres 2024.
Presiden Jokowi sendiri mengatakan bahwa dirinya adalah "jembatan" bagi urusan partai-partai dalam pertemuan tersebut.
Hingga saat ini belum ada pernyataan resmi dari Surya Paloh.
Namun, Ketua DPP Nasdem, Willy Aditya, berkata terlalu dini apabila jamuan makan malam tersebut diartikan bahwa partainya akan bersatu dengan kubu Jokowi lagi.
Tiga Periode Jadi Biang Kerok Keretakan
Meski masyarakat sudah mengendus keretakan hubungan tersebut, namun Megawati membantah, dia bilang tak ada masalah dengan Jokowi kendati keduanya berbeda pandangan politik, hubungan mereka baik-baik saja walau sudah tak bersama lagi.
Bagi Megawati, perbedaan pandangan politik tidak menjadi soal walau hal itu membuat mereka harus berbagi jalan, intinya hubungan baik secara personal harus dirawat baik-baik.
Tetapi Megawati kemudian secara tersirat menceritakan awal mula bergejolaknya hubungannya dengan Jokowi, perpisahan mereka tidak hanya sekedar dipicu perbedaan pandangan politik di Pilpres 2024, namun jauh sebelumnya keduanya memang sudah mulai berjarak. Itu sudah terjadi sejak awal 2013 ketika isu Jokowi tiga periode menggelinding.
Jokowi disebut punya hasrat besar berkuasa satu periode lagi, namun keinginannya itu ditentang keras Megawati lantaran berlawanan dengan konstitusi yang mewajibkan presiden hanya dua periode saja. Perlu diketahui Jokowi sudah berulang kali membantah isu ini.
"Saya sama presiden baik-baik saja. Memangnya kenapa? Hanya karena saya dikatakan, karena saya tidak mau ketika diminta tiga periode. Atau karena saya katanya tidak mau memperpanjang? Lho, saya tahu hukum kok," kata Megawati saat memberi sambutan di acara penyerahan duplikat bendera pusaka kepada seluruh gubernur se-Indonesia di Balai Samudra, Jakarta, Senin (5/8/2024).
Bagi Megawati reformasi yang sudah dibayar mahal harus tetap dijaga, membiarkan Jokowi melenggang tiga periode adalah kesalahan tak termaafkan, itu sama dengan membiarkan nilai-nilai luhur reformasi dikoyak syahwat kekuasaan. Keinginan Jokowi berkuasa satu periode lagi wajib dilawan.
"Ketika dari yang namanya presiden seumur hidup itu waktu reformasi kan diubah. Itu TAP MPR. Saya tanya kepada ahli tata negara, apakah MPR yang sekarang disamakan ini, TAP-nya itu masih berlaku? Yes. Ada yang mau menyanggah? Ahli hukum tata negara? Ya silakan," ucapnya.
Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko turut merespons pernyataan Megawati, dia mengatakan hubungan Jokowi dengan PDI Perjuangan dan Megawati tak pernah berubah meski jalan politik mereka telah berbeda. Baginya Jokowi yang sekarang sama seperti yang dulu.
"Saya pikir dari pandangan saya, dari beliaunya (Jokowi) enggak ada yang berubah. Ya saya lihat dari beliau tidak ada yang berubah," ujar Moeldoko kepada wartawan di kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (6/8/2024).
Pasca Pilpres 2024, tidak sekalipun terdengar pertemuan antara Jokowi dan Megawati, bahkan pada momentum Idul Fitri 2024 Jokowi yang biasanya sowan ke rumah Megawati tak pernah tampak batang hidungnya, Jokowi justru terbang ke Medan menemui anak dan menantunya, Bobby Nasution dan Kahiyang Ayu.
Sama seperti masyarakat pada umumnya, Moeldoko notabene adalah orang istana juga tak tahu hal itu. Artinya kemungkinan besar Jokowi dan Megawati tak pernah lagi ngobrol empat di satu meja yang sama pasca Pilpres 2024.
"Saya tidak tahu (kalau mereka bertemu). Saya juga belum tahu (rencana pertemuan)," tegasnya.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Banyak pihak yang mulai memprediksi seperti apa hubungan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Sukarnoputri dengan Presiden Joko Widodo atau Jokowi setelah Pilpres 2024.
Banyak yang memperkirakan, hubungan Jokowi dan Megawati akan mirip dengan relasi antara mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY dengan Ketua Umum PDIP tersebut.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, Ujang Komarudin, kepada Tribunnews.com, mengungkapkan, wacana pertemuan Jokowi dan Megawati usai Idul Fitri sulit untuk terwujud, minimal dalam waktu dekat.
Ia menilai, salah satu faktor penyebab adalah dua tokoh yang disebut-sebut pecah kongsi di Pilpres 2024. Menurutnya, PDIP kecewa terlalu dalam.
Seperti diketahui, Jokowi, dalam gelaran Pilpres 2024 lalu dinilai condong mendukung pasangan calon presiden Prabowo Subianto.
Prabowo menggandeng putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden.
Di sisi lain, PDIP, partai Jokowi bernaung selama ini, mengusung calon lain, yaitu Ganjar Pranowo-Mahfud Md.
Lebih jauh, Ujang mengaku tidak bisa memprediksi apakah hubungan Megawati dan Jokowi akan renggang dalam waktu lama.
"Jika berkaca pada hubungan Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang sampai saat ini belum akur. Mungkin saja kerenggangan itu akan bertahan lama," ujarnya.
Ia mengingatkan, hubungan Megawati dan SBY telah renggang sejak Pilpres 2004 hingga kini.
“Jika dihitung sudah hampir 25 tahun hubungan Megawati dengan SBY tidak pernah berlanjut dan tidak pernah ada ujung pangkalnya. Apakah hubungan Jokowi akan lama seperti itu atau tidak, saya tidak tahu. Semua tergantung sikap Megawati mau menerima atau tidak,” ujar Ujang.
Bisakah Prabowo menjembatani?
Di sisi lain, hubungan Megawati dengan presiden terpilih, Prabowo Subianto, justru berjalan baik-baik saja.
Menurut Ujang, peluang pertemuan antara Megawati dengan Prabowo memang lebih besar daripada Megawati dengan Jokowi.
Tahun 2023 dapat dikatakan sebagai munculnya benih-benih keretakan hubungan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Pemicunya tak lepas dari dinamika menjelang Pilpres 2024 di mana anak sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka maju sebagai cawapres pendamping Prabowo Subianto di Pilpres 2024.
Prabowo-Gibran kini didukung oleh koalisi Gerindra, Golkar, PAN, Demokrat, Gelora, PBB, Garuda, Prima dan PSI. Kebanyakan dari parpol ini merupakan parpol pendukung pemerintahan Jokowi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Keputusan ini berbeda dengan sikap PDIP yang mengusung Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Jokowi lalu santer dikabarkan memberikan dukungannya kepada Prabowo sebagai capres di Pilpres 2024. Hal ini pun beriringan dengan organisasi relawan Projo yang mendukung Prabowo.
Setali dengan Projo, PSI yang dikomandoi oleh putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep serta menantu Jokowi sekaligus Wali Kota Medan Bobby Nasution juga mendukung Prabowo.
Namun, Jokowi mengatakan mendukung semua pasangan capres-cawapres yang bertanding pada kontestasi politik lima tahunan.
Jika ditilik ke belakang, momen kebersamaan antara Jokowi, Megawati dan PDIP terakhir yang terlihat publik terjadi di Rakernas PDIP ke-IV, JIExpo Kemayoran, Jakarta, 29 September 2023 atau 20 hari sebelum proses pendaftaran capres-cawapres ke KPU.
Kala itu Jokowi dan Ganjar menampilkan kemesraan menggandeng Megawati yang sedang menuruni podium. Jokowi juga menyampaikan pidatonya pada momen tersebut.
Setelah momen itu, Jokowi tak pernah lagi terlihat menghadiri agenda PDIP yang diketahui oleh publik luas hingga saat ini.
Kondisi perpolitikan di Indonesia setelah Rakernas PDIP itu pun mulai mengalami dinamika.
Salah satu pemicunya datang dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan gugatan batas usia capres-cawapres minimal 40 tahun atau menduduki jabatan yang dipilih dari pemilu/pilkada pada 16 Oktober 2023.
Imbas putusan ini, Gibran diperbolehkan maju sebagai cawapres meski usianya baru menginjak 36 tahun. Prabowo kemudian mengumumkan Gibran sebagai cawapresnya pada Minggu 22 Oktober 2023.
Gibran pun disebut telah berpamitan dengan Ketua DPP PDIP Puan Maharani untuk maju berpasangan bersama Prabowo sebagai cawapres.
Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto pun sempat mengungkapkan kesedihannya lewat keterangan tertulisnya pada 29 Oktober lalu.
Hasto mengatakan partainya telah memberi keistimewaan yang begitu besar kepada Presiden Joko Widodo, namun kini ditinggalkan. Hasto mengatakan PDIP saat ini dalam suasana sedih.
"Ketika DPP partai bertemu dengan jajaran anak ranting dan ranting sebagai struktur partai paling bawah, banyak yang tidak percaya bahwa ini bisa terjadi. Kami begitu mencintai dan memberikan privilege yang begitu besar kepada Presiden Jokowi dan keluarga, namun kami ditinggalkan karena masih ada permintaan lain yang berpotensi melanggar pranata kebaikan dan konstitusi," ujar Hasto.
Di tengah-tengah kesedihan PDIP itu, Hasto menyebut Gibran saat ini sudah berwarna kuning usai menjadi cawapres Prabowo. Namun, Hasto tak bicara tegas apakah yang dimaksud bahwa Gibran telah menjadi kader Golkar. Belakangan Gibran juga telah membantah telah bergabung dengan Golkar.
Hasto juga mengatakan Gibran telah mengembalikan kartu tanda anggota (KTA) PDIP dan yang bersangkutan sudah pamit.
"Ya, sudah. Jadi, sudah diselesaikan oleh DPC PDI Perjuangan Kota Surakarta karena Mas Gibran'kan menerima KTA dari DPC Kota Surakarta sehingga tidak lagi beranggota PDI Perjuangan karena sudah pamit," kata Hasto di Denpasar, Bali, 4 November lalu.
Menariknya, kabar hoaks menyebutkan Indonesia ditolak hadir oleh negara-negara anggota APEC karena kebijakan hilirisasi yang ditempuhnya, yang membuat kerugian ekonomi bagi sejumlah negara maju dan adikuasa seperti AS, Kanada, Australia, dan Korea Selatan.